Cengkeh dalam Ramuan Sang Peraji

Cengkeh dalam Ramuan Sang Peraji

Seorang peraji (dukun bayi) keberadaan sangat penting dalam prosesi kelahiran manusia, terlebih di era dahulu, sebelum teknologi medis berkembang dan tersebar sampai pelosok.

Peraji biasanya mewarisi pengetahuan dari orang tuanya. Itu pula yang diceritakan oleh Sumarni Abdullah, dikutip dari buku “Ekspedisi Cengkeh”, yang mewarisi pengetahuan seputar dunia peraji dari ibunya, Cindar Do Sai. Mulanya ibunya mendampinginya melakukan pekerjaan sampai kemudian dianggap bisa.

Perannya seorang peraji tidak hanya dilakukan ketika proses kelahiran, tapi mencakup masa persiapan dan pasca kelahiran.

Di masa ibu mengandung, seorang peraji sudah berperan terutama dalam memastikan posisi bayi telah sesuai. Dengan menggunakan minyak yang terbuat dari beberapa butir cengkeh dan minyak kelapa itu dia akan mengurut ibu yang sedang hamil, mengurut perutnya. Mengurut itu dilakukan untuk mengetahui posisi bayi telah tepat sehingga proses kelahiran bisa dilaksanakan.

cengkeh

Dalam prosesi kelahiran, begitu jabang bayi lahir, Sumarni akan membalurkan cengkeh dan pala yang telah ditumbuk sampai halus kemudian diletakkan di ubun-ubun jabang bayi. Ramuan ini bermanfaat agar batok kepala si bayi lekas mengeras. Dalam proses pasca kelahiran tersebut pula, ia akan membakar batok kelapa dan baranya diusapkan ke tubuh bayi sehingga tubuh bayi tetap hangat.

cengkeh

Tidak hanya jabang bayi yang dirawat pasca kelahiran, tetapi juga ibunya. Di bagian ini, ia menggunakan daun cengkeh untuk melakukan tugasnya. Beberapa daun cengkeh diletakkan di belangga berisi air. Lalu belangga dipanaskan di atas tungku sampai mendidih. Ramuan tersebut kemudian dibiarkan sampai suhunya turun. Setelah suhu turun, ibu yang baru melahirkan diminta duduk di kursi yang didesain khusus untuk mengalirkan uap air cengkeh ke atas. Proses ini untuk mengeluarkan keringat ibu sehingga tubuhnya lekas pulih pasca melahirkan.

Perawatan selanjutnya, dilakukan setiap dua hari sekali, sampai dua minggu setelah proses kelahiran. Di sini peran seorang peraji juga membantu ibu yang baru memiliki anak cara merawat bayi, dari memandikan sampai menyusui dan lain sebagainya. Bila keduanya sehat, maka pekerjaan seorang peraji berakhir. Proses itu membutuhkan waktu minimal 44 hari.

cengkeh

Seluruh proses ini sekaligus menegaskan betapa besar manfaat cengkeh bagi kesehatan terutama dalam proses kelahiran.

Gambar ilustrasi: Eko Susanto

Pengalaman dari Indonesia Timur: Perkebunan Cengkeh Membuat Masyarakat Mempertahankan Tanahnya dari Serbuan Industri Ekstraktif

Pengalaman dari Indonesia Timur: Perkebunan Cengkeh Membuat Masyarakat Mempertahankan Tanahnya dari Serbuan Industri Ekstraktif

Beberapa tahun silam, tepatnya akhir 2013, saya melakukan perjalanan ke Indonesia Timur. Kedatangan saya ke timur bertepatan dengan masa panen raya cengkeh yang dilakukan oleh masyarakat setempat secara meriah. Berbagai tingkatan umur turut merasakan kemeriahan musim panen cengkeh saat itu. Terlebih harga cengkeh sedang sangat bagus ketika itu, per kilogram cengkeh kering tembus angka Rp140 ribu.

cengkeh

Tak ayal, di berbagai pelosok orang dengan riang memanjat pohon cengkeh dengan tali dan tangga-tangga tinggi untuk menjangkau letak cengkeh yang sulit terjangkau. Sedangkan di bawah, anak-anak berebut reruntuhan cengkeh yang jatuh. Dalam sehari anak-anak itu bisa mengumpulkan lebih dari 6 kaleng (istilah untuk menyebut kaleng susu bekas yang kemudian menjadi satuan ukuran).

cengkeh

Sistem sosial di sana memang memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk terlibat dalam panen cengkeh. Aturan yang sama juga diberikan kepada janda dan orang yang tidak memiliki kebun cengkeh. Kepada mereka, diberikan kesempatan untuk ikut merasakan kebahagiaan para pemilik pohon cengkeh.

pohon cengkeh

Dalam perjalanan tersebut, yang saya lakukan di Maluku Utara, saya ditemani oleh seorang kawan yang baru saya kenal di Ternate. Kawan yang bernama Risman Buamona inilah yang akhirnya menemani saya berkunjung ke sejumlah daerah di Maluku Utara, dari yang paling bawah di pulau Bacan hingga menuju daerah di bagian utara, di pulau Morotai.

Perjalanan itu tidak hanya membuat saya melihat kemeriahan masyarakat yang sedang panen cengkeh. Kawan saya ini justru membawa saya lebih jauh, karena dia juga membawa saya ke sejumlah daerah di wilayah Maluku Utara yang menjadi daerah pertambangan.

Di daerah-daerah yang menjadi pertambangan tersebut, kata kawan saya itu, dulunya merupakan sentra industri minyak kelapa. Orang-orang di daerah tersebut biasanya tidak memiliki pohon cengkeh, kalaupun punya, itupun tidak tahan saat puasa panjang, karenanya ketika pemerintah berusaha mengontrol harga cengkeh dengan melalui Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih (BPPC) yang membuat harga cengkeh anjlok, masyarakat di sana marah besar.

petani cengkeh

Sedangkan di daerah-daerah yang menjadi sentra perkebunan cengkeh, masyarakat tetap bertahan dengan usaha di sektor agraris, di mana masyarakat mendapatkan hasil bumi dengan terlebih dahulu mengolah tanah. Para petani cengkeh ini mendapatkan lagi gairah di era Presiden Abdurrahman Wahid yang menghapus aturan kontrol dari pemerintah terhadap cengkeh sehingga harga cengkeh melonjak tinggi, dan kesejahteraan petani cengkeh kembali terangkat.

Di daerah-daerah yang terlanjur diberikan kepada industri pertambangan bukan hanya struktur tanahnya saja yang rusak. Tetapi, konsep hidup masyarakatnya pun berubah.

petani cengkeh

Setelah menjual tanahnya, para petani itu akhirnya bekerja di pertambangan. Tetapi dengan bekerja di pertambangan mereka tidak bisa lagi berpikir jangka panjang sebagaimana kebiasaan masyarakat agraris. Mereka menjadi pragmatis, dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dan untuk menyesal sudah terlambat, karena mereka telah melepaskan tanah yang sudah tidak pernah terjangkau lagi.

Gambar ilustrasi: Eko Susanto

Di Era Kolonial, 10 Kilogram Cengkeh Mampu Memberangkatkan Jamaah Ke Tanah Suci

Di Era Kolonial, 10 Kilogram Cengkeh Mampu Memberangkatkan Jamaah Ke Tanah Suci

Pencarian Edy Supratno terhadap jejak Haji Djamhari yang tersohor sebagai penemu kretek menempuh jalan berliku. Nama Haji Djamhari banyak disebut dalam berbagai literatur yang membahas rokok khas Indonesia tersebut.

Tetapi, literatur yang ada hanya menyebut Haji Djamhari secara sekilas bahwa ia terkena penyakit bengek lantas mencampur cengkeh dalam lintingan tembakaunya, kemudian dari isapan demi isapan lintingan tembakaunya tersebut, sakit bengeknya sembuh.

rokok klobot

Rokok kretek yang ditemukannya itu lantas populer dan sekarang menjadi produk yang bisa disebut sebagai sokoguru perekonomian Indonesia karena industri tersebut mampu menyatukan berbagai sumber daya dalam negeri dan memiliki nilai tambah yang besar bagi bangsa.

Dalam upayanya untuk mencari jejak Haji Djamhari, Edy Supratno mencoba membuka data kolonial yang berkaitan dengan keberangkatan Djamhari ke tanah suci sehingga mempunyai gelar ‘Haji’.

Di Jaman kolonial, gelar haji tidak sembarangan diberikan, sebab sebelum berangkat ke tanah suci, seseorang yang hendak pergi berhaji mesti melapor dahulu kepada Bupati. Ini merupakan upaya pemerintah Belanda untuk melakukan kontrol orang-orang yang pergi berhaji sekaligus sebagai upaya memajukan bisnis pelayaran ke Tanah Suci oleh Pemerintahan Belanda yang dimulai sejak 1873.

cengkeh

Walaupun pada akhirnya Edy Supratno tidak menemukan jejak Haji Djamhari dalam catatan perjalanan yang tercatat di arsip Belanda, namun, dia berhasil mengungkap fakta menarik yang dikutip dari M. Shaleh Putuhena dalam buku ‘Historiografi Haji Indonesia’ di mana jamaah haji yang berangkat di masa-masa itu sangat dipengaruhi oleh hasil pertanian.

cengkeh

Jamaah haji dari Jawa-Madura memperoleh biaya dari padi dan tembakau. Sedangkan dari Sumatera dari hasil padi dan lada, serta kopi khusus wilayah Sumatera Timur. Jamaah dari Sulawesi membiayai haji dari hasil menjual kopi, kelapa, dan kopi. Dari Maluku, mereka yang berangkat haji dari hasil menjual pala dan cengkeh. Pada tahun itu yakni 1889 biaya berhaji hanya setara 10 kilogram cengkeh. Sementara harga sekilo cengkeh dihargai f.50.

Gambar ilustrasi: Eko Susanto