Industri Hasil Tembakau memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Sumbangan sektor ini meliputi penyerapan tenaga kerja, pendapatan negara, serta menjadi komoditas penting bagi petani.
Kementerian Perindustrian mencatat, pendapatan negara dari industri hasil tembakau yang berasal dari cukai dan pajak mengalami peningkatan setiap tahunnya. Kontribusi cukai bagi kas negara tahun lalu saja mencapai Rp138,69 triliun atau 96,65% dari total pendapatan cukai. Sementara serapan tenaga kerja di sektor manufaktur dan distribusi mencapai 4,28 juta orang. Sedangkan di sektor perkebunan sebanyak 1,7 juta orang.
Menurut Airlangga, industri ini telah menjadi bagian sejarah dan budaya masyarakat kita, khususnya rokok kretek yang merupakan komoditas tembakau dan cengkeh yang sangat Indonesia. Di Jawa Timur industri ini menjadi unggulan. “Fasilitas KUD di sini juga luar biasa serta telah melakukan bentuk kemitraan perusahaan dengan koperasi,” katanya.
Berbagai aturan yang memberi berbagai batasan dalam produksi rokok kretek memang telah menurunkan jumlah unit usaha. Data 2014, terdapat 700 perusahaan dengan kemampuan produksi 346,3 miliar batang. Sementara pada 2015 hanya tersisa 600 pabrik rokok tetapi produksi meningkat menjadi 348,1 miliar batang. Sedangkan tahun 2016 mampu memproduksi 350,03 miliar batang.
Menurutnya, selama lima tahun ke belakang memang terjadi penurunan sebesar 3,5% atas jumlah pekerja sektor manufaktur rokok dan pada perkebunan tembakau turun 4,7%. Alasannya, pangsa pasar industri hasil tembakau mulai berubah karena dipengaruhi gaya hidup masyarakat perokok yang memilih rokok dengan kandungan tar dan nikotin rendah.
Saat ini masyarakat perokok mengarah ke sigaret kretek mesin (SKM), baik jenis reguler maupun mild. Data pangsa pasar dari jenis rokok pada 2016, SKM sebesar 72,07%, Sigaret kretek tangan (SKT) sebesar 20,23%, dan sigaret putih mesin (SPM) sebesar 5,43%. Sisanya sebesar 2,27% untuk klobot dan klembak.
Gambar ilustrasi: Eko Susanto