Protes Larangan Merokok dari Penjara

Larangan  merokok yang diberlakukan pada Rabu, (1/7/2015), di seluruh penjara di negara bagian Victoria, Australia, diprotes oleh narapidana dari LP Metropolitan Remand Centre, Ravenhaal, sekitar 24 kilometer dari pusat kota Melbrourne.

Protes dari penjara ini dilakukan dengan sejumlah narapidana yang menutup wajahnya kemudian melanggar batas keamanan dan sampai merusak sejumlah fasilitas publik.  Dari aksi yang dilakukan dari pukul 12.00 sampai 18.00 sempat membuat pihak keamanan kewalahan.

Kebijakan pelarangan merokok yang sewenang-wenang di penjara menjadi sebabnya, karena kebijakan baru ini tidak memberikan tempat bagi narapidana yang merokok.

Komisioner penjara mengatakan lembaga pemasyarakatan telah melakukan persiapan selama 18 bulan untuk mengantisipasi pemberlakuan larangan merokok.

Salah satu langkah antisipasi  yang dilakukan memaksa narapidana merokok untuk mengikuti program berhenti merokok. Tetapi, upaya pemaksaan tersebut gagal. Dan berakhir dengan aksi protes narapidana baik yang merokok dan tidak sehari sebelum pemberlakuan aturan larangan merokok.

“Narapidana di LP Remand ….mereka bukan pihak yang banyak menekan kami terkait rencana penerapan aturan larangan merokok ini karena mereka relatif baru,” kata Komisioner Penjara seperti yang dikutip Australia Plus ABC.

Gambar: Eko Susanto
Sumber: rokokindonesia.com

Perokok Pasif Tak Rentan Kena Kanker Paru

manfaat rokok

Selama ini orang awam diberi pemahaman jika berada dekat seorang perokok aktif akan meningkatkan peluang mereka terkena gangguan pernapasan hinga kanker paru. Namun sebuah studi terbaru dari AS mengatakan hal ini tidaklah benar.

Penelitian yang dilakukan tim peneliti dari Stanford University menemukan bukti nyata bahwa merokok memiliki ketertarikan yang kuat dengan kanker, tapi tidak bagi perokok pasif. Hanya yang tinggal satu rumah dengan perokok aktif selama 30 tahun yang berpeluang untuk mengidap kanker paru.

Dengan mengamati data 76.304 partisipasi wanita, terutama tentang papara rokok pasif mereka sejak kecil, paparan rokok pasif mereka di rumah setelah dewasa dan paparan rokok pasif di tempat kerja. Di situ tercatat 901 orang terkena kanker paru dalam kurun 10,5 tahun.

Selain itu peneliti memastikan bahwa peluang kanker paru pada perokok aktif 13 kali lebih besar daripada yang tidak pernah merokok dan empat lebih besar terjadi pada mantan perokok. Yang jelas tinggi rendahnya risiko kanker paru, baik bagi perokok yang masih aktif maupun mantan perokok, bergantung pada tingkat paparan rokok mereka.

Namun pada partisipan yang tidak pernah merokok maupun yang menjadi perokok pasif tidak ditemukan adanya risiko kanker paru secara signifikan.

“Satu-satunya kategori paparan yang ditemukan studi ini adalah adanya tren peningkatan risiko pada orang-orang yang tinggal serumah dengan seorang perokok aktif selama 30 tahun atau lebih,” kata peniliti Ange Wang, mahasiswa kedokteran dari Stanfors University. Dia mempresentasikan hasil temuan ini dalam pertemuan American Society of Oncology di Chicago pada 2013.

Gambar: Eko Susanto

Sumber: rokokindonesia.com

Perokok Pasif Hanya Bualan Semu

Sejak Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat mempublikasikan penelitian perokok pasif, untuk menyebut orang-orang yang tinggal dan hidup berdekatan dengan para perokok, mempunyai akibat mengidap penyakit paru-paru yang sama dengan perokok aktif pada 1992.  Data tersebut sering didaur ulang hingga sekarang tanpa lagi mempertanyakan secara kritis kebenaran dan maksud tersembunyi di balik penelitian ini.

Padahal Congressional Research Service (CSR) telah mengeluarkan laporan penelitian kaitan antara perokok pasif dengan penyakit paru-paru dan kematian yang diakibatkan oleh penyakit paru-paru.

Dari penelitian yang dilakukan selama 20 bulan dan melibatkan 35.000 responden yang tidak pernah merokok selama 39 tahun di California, CSR akhirnya membuat publikasi ilmiah yang menyatakan tak ada hubungan statistik yang signifikan antara paparan perokok pasif dan kematian akibat kanker paru-paru.

Ternyata studi ini bukanlah yang pertama menyatakan bahwa tak ada kaitan antara kanker paru dengan perokok pasif. Bahkan antara tahun 1959-1989, dua pentolan kampanye antirokok di AS bernama James Enstrom dan Goeffrey Kabat melakukan survey terhadap 118.094 California untuk membuktikan apakah merokok benar-benar memberikan efek samping yang mengerikan pada orang-orang terdekat pada perokok.

Keduanya melaporkan paparan rokok dari lingkungan atau biasa disebut dengan “Perokok pasif” tidaklah menaikkan risiko kanker paru maupun penyakit jantung seseorang secara signifikan, bahkan ketika mereka terpapar bertahun-tahun.

Gambar: Eko Susanto

Sumber: Rokok Indonesia

Gagalnya Proyek Monica menemukan kaitan rokok dan penyakit kardiovaskuler

Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1980 membuat sebuah proyek besar untuk menjawab berbagai kecenderungan kematian akibat penyakit kardiovaskuler (CVD) yang melibatkan 10 juta orang responden di seluruh dunia dengan kisaran usia 25-64 tahun, dan dibentuk 32 sentra kolaborasi di 21 negara. Proyek ini dikenal dengan Proyek Monica (Monitoring of trend and determinants in Cardivascular Disease).

Rokok yang diduga sebagai penyebab dari timbulnya penyakit kardiovaskuler ternyata tak terbukti. Proyek Monica tak menemukan kaitan antara hubungan trend faktor risiko utama CVD seperti kolestrol serum darah, tekanan darah dan kosumsi rokok. Juga tak ada hubungan tren pengaruh (serangan fatal dan non-fatal) stroke dan penyakit jantung koroner.

Ternyata, penyakit kardiovaskuler tersebut disebabkan karena defisiensi asam folat (folic acid); demikian juga dengan ibu hamil memerlukan asam folat lebih tinggi daripada sebelum hamil, bisa fatal dalam pertumbuhan janin dan kesehatan ibu.

Foto: Eko Susanto

Sumber: rokokindonesia.com

Rokok Sebagai Pintu Gerbang Narkoba?

Stigma bahwa rokok sebagai sebab dari seseorang memakai narkoba kerap kita dengar dilontarkan oleh antirokok, dan berkembang menjadi stigma di masyarakat. Tuduhan ini meletakkan rokok merupakan awal atau sebab dari seseorang untuk kemudian hari mencoba mempergunakan narkoba.

Tentu saja, anggapan ini seolah benar tapi cacat secara logika. Seorang pengguna narkoba bisa minum susu atau usai berkunjung ke dokter atau apa saja, kemudian dia mengkosumsi narkoba. Bisa apa saja.

Dalam sebuah acara talkshow di salah satu televisi swasta, stigma ini pernah diperdebatkan. Dan yang menarik, yang membantah stigma tersebut justru Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Narkotika (GRANAT), Hendri Yosodiningrat.

Foto: Eko Susanto

Sumber: rokokindonesia.com

Benarkah Paru-paru Hitam di Bungkus Rokok Milik Perokok?

Sejak Juni 2014, bungkus rokok di Indonesia meski mencantumkan gambar peringatan yang mengerikan. Dada terbelah, paru-paru terlihat warna coklat cenderung menghitam. Tentu saja, gambar itu hasil olah Photoshop untuk menakut-nakuti para perokok.

Tetapi benarkah gambar paru-paru yang menghitam itu milik perokok?

Lauren A. Colby melalui penelitiannya yang dibukukan dalam In Defense of Smokers menyangkal jika gambar paru-paru yang berwarna coklat itu sebagai akibat dari akumulasi bertahun-tahun kosumsi tar dan nikotin. Dari sumber dua ahli otopsi, Wray Kephart dan Ed Uthman M.D, Colby tahu paru-paru coklat atau hitam sebagai akibat kosumsi rokok adalah mitos belaka.

Kephart maupun Uthman menegaskan, dari hasil otopsi medis sangat tidak mungkin diketahui, apakah almarhum merupakan seorang perokok atau bukan. Sementara foto yang sering dijadikan bukti rusaknya paru-paru para perokok tersebut, menurut kedua sumber tersebut adalah foto paru-paru orang yang terkena kanker paru-paru dan tak ada persoalan dengan apakah ia perokok atau tidak.

Skeptisme dan kritisme Colby atas kebenaran propaganda antirokok bermula dari pengalamannya mengamati kampanye pemerintah Amerika memerangi HIV AIDS ketika ia bekerja di Lembaga Komunikasi Pemerintah Washngton DC. Persis sebagaimana kasus AIDS, Colby melihat ada lembaga kesehtan yang berwenang di Amerika yang menentukan bagaimana sebuah paradigma pengetahuan disusun dan dikontrol, yang tidak membolehkan adanya pendaat dari luar.

Di sini sudah jelas, bahwa lembaga-lembaga yang berwenang itu secara teratur mengelola buku-buku dengan menyulap data statistik dan data-data lain, merapikan dan memotong di sana-sini untuk membuktikan bahwa “pengetahuan resmi” yang benar.

Tujuan dan kepentinganya apa? Menurut Colby, jawabannya datang dengan suara keras dan jelas: bukan lain adalah UANG.

Lalu di Indonesia? Hahaha, bukannya kita hanya pecundang yang hanya mengimpor pengetahuan dari lembaga berwenang di Amerika sana.

Foto: Eko Susanto

Sumber: rokokindonesia.com

Tak Ada Kaitan Rokok dan Kanker Paru-paru

Propaganda rokok sebagai penyebab timbulnya kanker paru-paru dibantah oleh Lauren A. Colby melalui penelitian yang kemudian dirangkum dalam buku In Defense of Smokers.

Colby menemukan banyak kejanggalan atas praktik brutal proganda dan data-data statisik yang dipublikasikan oleh antirokok. Menurutnya, kita tahu tak semua perokok menderita kanker paru-paru. Sebaliknya kita juga tahu, banyak orang yang tidak merokok sepanjang hidupnya, namun justru sakit kanker paru-paru di usia dini dan meninggal karena sakit itu.

Dengan meneliti data-data statistik “The Oxfort Atlas of the World” (1992) tentang tingkat kosumsi rokok di banyak negara, dan menginterpolarisasi dengan laporan Bank Dunia (1990) terkait tingkat prevelensi penyakit kanker / Lung Cancer Death Rates (LCDR) di sejumlah negara, Colby justru tiba pada kesimpulan sebaliknya. Colby menemukan fakta, bahwa Jepang, seperti juga Hongaria, adalah negara yang memiliki tingkat rata-rata kosumsi rokok tertinggi di dunia.

Namun berbeda dengan Hongaria yang memiliki angka LCDR laki-laki sebesar 2,4 %; perempuan 0,5 %, namun Jepang justru memiliki rasio sangat rendah, LCDR untuk laki-laki sebesar 0,5 % dan perempan 0,2 %. Angka ini hanya sekitar seperlima rata-rata Hongaria, atau sekitar sepertiga rata-rata Amerika Serikat.

Tanpa terkecuali China, di negara Tirai Bambu itu, bahkan pemerintah menanam tembakau dan banyak menerima pemasukan dari penjualan rokok perusahaan plat merah, Merujuk data Bank Dunia (1988), angka LCDR China hampir sama dengan Jepang, yaitu 0,56 % untuk laki-laki dan 0,39 % perempuan.

Walaupun memiliki angka rata-rata merokok tinggi, orang Jepang dan China sangatlah sehat. Artinya, bisa dikatakan dengan pasti di Jepang dan China merokok tidak menyebabkan kanker paru-paru. Karena seandainya merokok pasti menjadi penyebab kanker paru-paru, tentu rasio LCDR kedua negara yang dihuni banyak perokok berat pasti memiliki prosentase tinggi.

Foto: Eko Susanto

Sumber: rokokindonesia.com

Sejarah Rokok di Eropa pada masa-masa awal

Sejak perjumpaan bangsa Eropa dengan tembakau, menghisap rokok dan cerutu, di Era Columbus. Penjelajah-penjelajah setelahnya juga mencari daun pengobat ini dan juga mengikuti kebiasaan orang-orang Indian di Amerika.

Pada tahun 1564 John Hawkins menuturkan, orang-orang Perancis di Florida telah memakai tembakau dengan maksud-maksud yang sama seperti orang pribumi. Sedangkan seorang Eropa lain, A. Thevet, yang mengunjungi Brasilia dari tahun 1555 sampai 1556 malah mengabarkan, orang-orang Kristen yang hidup di sana sangat gemar sekali pada daun pengobat ini.

Sebuah laporan menarik diberikan oleh Gabriel Soares de Souza, seorang petani Portugis yang pernah hidup di Brasilia selama tujuh belas tahun lamanya semenjak tahun 1570 dalam bukunya “Noticia do Brazil” yang terbit 1587, bahwa tembakau sangat dihargai oleh orang-orang Indian, Portugis dan Negro, yang ia sebut “Mamelucos”, yang telah merokok banyak daun tembakau terbungkus dalam selembar daun palem.

Pengarang buki “Treatise of Brazil” yang ditulis pada tahun 1601 yang tak diketahui namanya, juga menyajikan sebuah lukisan yang tak kurang menariknya mengenai menghisap cerutu di Brazil, baik di kalangan masyarakat Indian maupun para perantau Portugis.

Katanya: “Orang-orang perempuan juga menghisapnya, akan tetapi mereka yang melakukan perbuatan itu telah usia tua dan sakit-sakitan, oleh karena tembakau tersebut mempunyai kemapuan menyembuhkan, terutama untuk penyakit batuk, perut dan kepala.”

Sumber: Rokok Kretek Lintasan Sejarah dan Artinya bagi Pembangunan Bangsa dan Negara, Amen Budiman dan Onghokham.

Foto: Eko Susanto

Sumber: rokokindonesia.com

36 Negara Dukung Gugatan Indonesia atas Kebijakan Kemasan Polos Rokok di Australia

Gugatan yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan pemberlakuan kebijakan kemasan polos produk rokok di Australia memperoleh dukungan sebagian besar anggota WTO (World Trade Organization). Tercatat 36 negara lain yang turut berkentingan terhadap gugatan bersedia menjadi pihak ketiga. Sedangkan tiga negara lain Kuba, Honduras, dan Republik Dominika berada dalam barisan Indonesia dalam melakukan gugatan.

Gugatan disampaikan ke WTO ini disebabkan pemberlakuan kewajiban menggunakan kemasan polos produk rokok telah mencederai hak anggota WTO di bawah perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS).

Di mana negara-negara yang terlibat dalam perjanjian TRIPS perlu melindungi hak konsumen untuk mengetahui produk yang akan dikonsumsi, dan di sisi lain produsen juga memiliki hak untuk menggunakan merek dagangnya secara bebas tanpa hambatan.

Sumber: Rokok Indonesia

Gambar: Eko Susanto (Flickr)

Gambar: Eko Susanto (Flickr)

Indonesia Menggugat Aturan Kemasan Polos Produk Rokok ala Australia

Indonesia melayangkan gugatan ke WTO (Woarld Trade Organization) berkaitan dengan pemberlakuan kemasan polos produk rokok yang diberlakukan di Australia.

Gugatan yang disampaikan Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan ini merupakan sengketa dagang terbesar yang ditangani WTO, sebab selain Indonesia terdapat tiga negara lain, Honduras, Republik Dominika, dan Kuba, serta 36 negara anggota WTO ikut serta menjadi pihak ketiga yang berkepentingan atas gugatan ini.

Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional (KPI) Kementerian Perdagangan, Bachrul Chairi menegaskan kewajiban menggunakan kemasan polos produk rokok telah mencederai hak anggota WTO di bawah perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS).

“Konsumen memiliki hak untuk mengetahui produk yang akan dikonsumsi, dan di sisi lain produsen juga memiliki hak untuk menggunakan merek dagangnya secara bebas tanpa hambatan-hambatan yang tidak berdasar,” kata Bachrul.

Sumber: Rokok Indonesia
Gambar: Eko Susanto (Flickr)